PENGERTIAN EPISTEMOLOGI
Manusia dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan dan 
kepentingan-kepentingan yang berbeda mesti akan berhadapan dengan 
pertanyaan-pertanyaan seperti, dari manakah saya berasal? Bagaimana 
terjadinya proses penciptaan alam? Apa hakikat manusia? Tolok ukur 
kebaikan dan keburukan bagi manusia? Apa faktor kesempurnaan jiwa 
manusia? Mana pemerintahan yang benar dan adil? Mengapa keadilan itu 
ialah baik? Pada derajat berapa air mendidih? Apakah bumi mengelilingi 
matahari atau sebaliknya? Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain. Tuntutan 
fitrah manusia dan rasa ingin tahunya yang mendalam niscaya mencari 
jawaban dan solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal 
yang akan dihadapinya.
Pada dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat dan berupaya 
mengetahui sesuatu yang tidak diketahuinya. Manusia sangat memahami dan 
menyadari bahwa:
1.      Hakikat itu ada dan nyata;
2.      Kita bisa mengajukan pertanyaan tentang hakikat itu;
3.      Hakikat itu bisa dicapai, diketahui, dan dipahami;
4.      Manusia bisa memiliki ilmu, pengetahuan, dan makrifat atas 
hakikat itu. 
Akal dan pikiran manusia bisa menjawab persoalan-persoalan 
yang dihadapinya, dan jalan menuju ilmu dan pengetahuan tidak tertutup 
bagi manusia.
Apabila manusia melontarkan suatu pertanyaan yang baru, misalnya 
bagaimana kita bisa memahami dan meyakini bahwa hakikat itu benar-benar 
ada? Mungkin hakikat itu memang tiada dan semuanya hanyalah bersumber 
dari khayalan kita belaka? Kalau pun hakikat itu ada, lantas bagaimana 
kita bisa meyakini bahwa apa yang kita ketahui tentang hakikat itu 
bersesuaian dengan hakikat eksternal itu sebagaimana adanya? Apakah kita
 yakin bisa menggapai hakikat dan realitas eksternal itu? Sangat mungkin
 pikiran kita tidak memiliki kemampuan memadai untuk mencapai hakikat 
sebagaimana adanya, keraguan ini akan menguat khususnya apabila kita 
mengamati kesalahan-kesalahan yang terjadi pada indra lahir dan 
kontradiksi-kontradiksi yang ada di antara para pemikir di sepanjang 
sejarah manusia?Persoalan-persoalan terakhir ini berbeda dengan 
persoalan-persoalan sebelumnya, yakni persoalan-persoalan sebelumnya 
berpijak pada suatu asumsi bahwa hakikat itu ada, akan tetapi pada 
persoalan-persoalan terakhir ini, keberadaan hakikat itu justru masih 
menjadi masalah yang diperdebatkan.
Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut ini. Seseorang sedang 
melihat suatu pemandangan yang jauh dengan teropong dan melihat berbagai
 benda dengan bentuk-bentuk dan warna-warna yang berbeda, lantas 
iameneliti benda-benda tersebut dengan melontarkan berbagai 
pertanyaan-pertanyaan tentangnya. Dengan perantara teropong itu sendiri,
 ia berupaya menjawab dan menjelaskan tentang realitas benda-benda yang 
dilihatnya. Namun, apabila seseorang bertanya kepadanya: Dari mana Anda 
yakin bahwa teropong ini memiliki ketepatan dalam menampilkan warna, 
bentuk, dan ukuran benda-benda tersebut? Mungkin benda-benda yang 
ditampakkan oleh teropong itu memiliki ukuran besar atau kecil?. 
Keraguan-keraguan ini akan semakin kuat dengan adanya kemungkinan 
kesalahan penampakan oleh teropong. Pertanyaan-pertanyaan ini berkaitan 
dengan keabsahan dan kebenaran yang dihasilkan oleh teropong. Dengan 
ungkapan lain, tidak ditanyakan tentang keberadaan realitas eksternal, 
akan tetapi, yang dipersoalkan adalah keabsahan teropong itu sendiri 
sebagai alat yang digunakan untuk melihat benda-benda yang jauh.
Keraguan-keraguan tentang hakikat pikiran, persepsi-persepsi pikiran,
 nilai dan keabsahan pikiran, kualitas pencerapan pikiran terhdap objek 
dan realitas eksternal, tolok ukur kebenaran hasil pikiran, dan sejauh 
mana kemampuan akal-pikiran dan indra mencapai hakikat dan mencerap 
objek eksternal, masih merupakan persoalan-persoalan aktual dan kekinian
 bagi manusia. Terkadang kita mempersoalkan ilmu dan makrifat tentang 
benda-benda hakiki dan kenyataan eksternal, dan terkadang kita membahas 
tentang ilmu dan makrifat yang diperoleh oleh akal-pikiran dan indra. 
Semua persoalan ini dibahas dalam bidang ilmu epistemologi.
Dengan demikian, definisi epistemologi adalah suatu cabang dari 
filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan pondasi, 
alat, tolok ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat, 
dan pengetahuan manusia.
ASAL USUL PENGETAHUAN
Asal usul pengetahuan termasug hal yang sangat penting dalam 
epistemology. Untuk mendapatkan darimana pengetahuan itu muncul 
(berasal) bisa dilihat dari aliran-aliran dalam pengetahuan, dan bisa 
dengan cara metode ilmiah, serta dari sarana berpikir ilmiah.
- Rasional
 
Pengetahuan rasional atau pengetahuan yang bersumber dari akal 
(rasio) adalah suatu pengetahuan yang dihasilkan dari proses belajar dan
 mengajar, diskusi ilmiah, pengkajian buku, pengajaran seorang guru, dan
 sekolah. Hal ini berbeda dengan pengetahuan intuitif atau pengetahuan 
yang berasal dari hati. Pengetahuan ini tidak akan didapatkan dari suatu
 proses pengajaran dan pembelajaran resmi, akan tetapi, jenis 
pengetahuan ini akan terwujud dalam bentuk-bentuk “kehadiran” dan 
“penyingkapan” langsung terhadap hakikat-hakikat yang dicapai melalui 
penapakan mistikal, penitian jalan-jalan keagamaan, dan penelusuran 
tahapan-tahapan spiritual. Tokoh-tokoh paham rasionalisme yaitu : 
Agustinus,Johanes Scotus, Avicena, Rene Descrates, Spinoza, Leibniz, 
Fichte, Hegel, Plato, Galileo, Leonardo da Vinci.
     2. Emperikal
Tak diragukan bahwa indra-indra lahiriah manusia merupakan alat dan 
sumber pengetahuan, dan manusia mengenal objek-objek fisik dengan 
perantaraanya. Setiap orang yang kehilangan salah satu dari indranya 
akan sirna kemampuannya dalam mengetahui suatu realitas secara 
partikular. Misalnya seorang yang kehilangan indra penglihatannya maka 
dia tidak akan dapat menggambarkan warna dan bentuk sesuatu yang 
fisikal, dan lebih jauh lagi orang itu tidak akan mempunyai suatu 
konsepsi universal tentang warna dan bentuk. Begitu pula orang yang 
tidak memiliki kekuatan mendengar maka dapat dipastikan bahwa dia tidak 
mampu mengkonstruksi suatu pemahaman tentang suara dan bunyi dalam 
pikirannya. Atas dasar inilah, Ibn Sina dengan menutip ungkapan filosof 
terkenal Aristoteles menyatakan bahwa barang siapa yang kehilangan 
indra-indranya maka dia tidak mempunyai makrifat dan pengetahuan. Dengan
 demikian bahwa indra merupakan sumber dan alat makrifat dan pengetahuan
 ialah hal yang sama sekali tidak disangsikan. Hal ini bertolak belakang
 dengan perspektif Plato yang berkeyakinan bahwa sumber pengetahuan 
hanyalah akal dan rasionalitas, indra-indra lahiriah dan objek-objek 
fisik sama sekali tidak bernilai dalam konteks pengetahuan. Dia 
menyatakan bahwa hal-hal fisikal hanya bernuansa lahiriah dan tidak 
menyentuh hakikat sesuatu. Benda-benda materi adalah realitas-realitas 
yang pasti sirna, punah, tidak hakiki, dan tidak abadi.
Akan tetapi, filosof-filosof Islam beranggapan bahwa indra-indra 
lahiriah tetap bernilai sebagai sumber dan alat pengetahuan. Mereka 
memandang bahwa peran indra-indra itu hanyalah berkisar seputar 
konsep-konsep yang berhubungan dengan objek-objek fisik seperti manusia,
 pohon, warna, bentuk, dan kuantitas. Indra-indra tak berkaitan dengan 
semua konsep-konsep yang mungkin dimiliki dan diketahui oleh manusia, 
bahkan terdapat realitas-realitas yang sama sekali tidak terdeteksi dan 
terjangkau oleh indra-indra lahiriah dan hanya dapat dicapai oleh 
daya-daya pencerapan lain yang ada pada diri manusia.
Konsep-konsep atas realitas-realitas fisikal dan material yang 
tercerap lewat indra-indra, yang walaupun secara tidak langsung, berada 
di alam pikiran, namun juga tidak terwujud dalam akal dan pikiran kita 
secara mandiri dan fitrawi. Melainkan setelah mendapatkan beberapa 
konsepsi-konsepsi indrawi maka secara bertahap akan memperoleh 
pemahaman-pemahaman yang lain. Awal mulanya pikiran manusia sama sekali 
tidak mempunyai konsep-konsep sesuatu, dia seperti kerta putih yang 
hanya memiliki potensi-potensi untuk menerima coretan, goresan, dan 
gambar. Dan aktivitas persepsi pikiran dimulai dari indra-indra 
lahiriah.
Mengapa jiwa yang tunggal itu sedemikian rupa mempunyai kemampuan 
yang luar biasa dalam menyerap semua pengetahuan? Filosof Ilahi, Mulla 
Sadra, mengungkapkan bahwa keragaman pengetahuan dan makrifat yang 
dimiliki oleh manusia dikarenakan kejamakan indra-indra lahiriahnya. 
Mulla Sadra juga menambahkan bahwa aktivitas persepsi-persepsi manusia 
dimulai dari jalur indra-indra itu dan setiap pengetahuan dapat 
bersumber secara langsung dari indra-indra lahiriah atau setelah 
berkumpulnya konsepsi-konsepsi indrawi barulah pikiran itu dikondisikan 
untuk menggapai pengetahuan-pengetahuan lain. Jiwa itu secara esensial 
tak mempu menggambarkan objek-objek fisikal tanpa indra-indra tersebut. 
Tokoh-tokoh paham Empirisme yaitu : John Locke, Berkeley, David Hume, 
Gothe, August Comte.
    3. Fenomenal
Paham ini dikemukakan oleh Immanuel Kant, filsuf Jerman. Dia berusaha
 mendamaikan pertentangan antara empirisme dan rasionalisme. Menurut 
Kant, pengetahuan hanya bisa terjadi oleh kerjasama antara pengalaman 
indra dan akal budi, dan tidak mungkin yang satu bekerja tanpa yang 
lain. Indra hanya memberikan data yakni warna,cita-rasa, bau, dan 
lain-lain. Untuk memperoleh pengetahuan, kita harus keluar atau menembus
 pengalaman, pengetahuan terjadi dengan menghubung-hubungkan, dan ini 
dilakukan oleh rasio (akal).
   4. Metode Ilmiah
Ini digunakan oleh para ilmuwan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang sesuatu. Metode Ilmiah terdiri dari :
a. Pengamatan / pengalaman yang digunakan sebagai dasar untuk merumuskan masalah.
b. Hipotesa, untuk penyelesaian yang berupa saran. Ini bersifat 
sementara dan perlu diverifikasi lebih lanjut. Dalam hipotesa, kebenaran
 masih bersifat probalitas. Kegiatan akal bergerak keluar dari 
pengalaman, mencari suatu bentuk untuk menyusun fakta-fakta dalam 
kerangka tertentu. Hipotesa dilakukan melalui penalaran induksi, dan 
memuat kalkulasi dan deduksi.
c. Eksperimentasi, merupakan kajian terhadap hipotesa. Hipotesa yang 
kebenarannya dapat dibuktikan dan diperkuat dinamakan hukum, sedangkan 
di atas hokum terdapat teori.
TERJADINYA PENGETAHUAN 
Masalah terjadinya pengetahuan adalah masalah yang amat penting dalam
 epistemologi, sebab jawaban terhadap terjadinya pengetahuan maka 
seseorang akan berwarna pandangan atau paham filsafatnya. Jawaban yang 
paling sederhana tentang terjadinya pengetahuan ini apakah berfilsafat a
 priori atau a posteriori. Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang 
terjadi tanpa adanya ata melalui pengalaman, baik pengalaman indera 
maupun pengalman batin. Adapun pengetahuan a posteriori adalah 
pengetahuan yang terjadi karena adanya pengalaman. Dengan demikian 
pengetahuan ini bertumpu pada kenyataan objektif. (Abbas Hamami 
M.,1982,hlm .11)
Beberapa alat yang digunakan untuk mengetahui terjadinya suatu pengetahuan ada
- Indera
 
Indera digunakan untuk berhubungan dengan dunia fisik atau lingkungan
 di sekitar kita. Indera ada bermacam-macam; yang paling pokok ada lima 
(panca indera), yakni indera penglihatan (mata) yang memungkinkan kita 
mengetahui warna, bentuk, dan ukuran suatu benda; indera pendengaran 
(telinga) yang membuat kita membedakan macam-macam suara; indera 
penciuman (hidung) untuk membedakan bermacam bau-bauan; indera perasa 
(lidah) yang membuat kita bisa membedakan makanan enak dan tidak enak; 
dan indera peraba (kulit) yang memungkinkan kita mengetahui suhu 
lingkungan dan kontur suatu benda.
Pengetahuan lewat indera disebut juga pengalaman, sifatnya empiris 
dan terukur. Kecenderungan yang berlebih kepada alat indera sebagai 
sumber pengetahuan yang utama, atau bahkan satu-satunya sumber 
pengetahuan, menghasilkan aliran yang disebut empirisisme, dengan 
pelopornya John Locke (1632-1714) dan David Hume dari Inggris. Mengenai 
kesahihan pengetahuan jenis ini, seorang empirisis sejati akan 
mengatakan indera adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat 
dipercaya, dan pengetahuan inderawi adalah satu-satunya pengetahuan yang
 benar.
Tetapi mengandalkan pengetahuan semata-mata kepada indera jelas tidak
 mencukupi. Dalam banyak kasus, penangkapan indera seringkali tidak 
sesuai dengan yang sebenarnya. Misalnya pensil yang dimasukkan ke dalam 
air terlihat bengkok, padahal sebelumnya lurus. Benda yang jauh terlihat
 lebih kecil, padahal ukuran sebenarnya lebih besar. Bunyi yang terlalu 
lemah atau terlalu keras tidak bisa kita dengar. Belum lagi kalau alat 
indera kita bermasalah, sedang sakit atau sudah rusak, maka kian 
sulitlah kita mengandalkan indera untuk mendapatkan pengetahuan yang 
benar.
     2 Akal
Akal atau rasio merupakan fungsi dari organ yang secara fisik 
bertempat di dalam kepala, yakni otak. Akal mampu menambal kekurangan 
yang ada pada indera. Akallah yang bisa memastikan bahwa pensil dalam 
air itu tetap lurus, dan bentuk bulan tetap bulat walaupun tampaknya 
sabit. Keunggulan akal yang paling utama adalah kemampuannya menangkap 
esensi atau hakikat dari sesuatu, tanpa terikat pada fakta-fakta khusus.
 Akal bisa mengetahui hakekat umum dari kucing, tanpa harus 
mengaitkannya dengan kucing tertentu yang ada di rumah tetangganya, 
kucing hitam, kucing garong, atau kucing-kucingan.
Akal mengetahui sesuatu tidak secara langsung, melainkan lewat 
kategori-kategori atau ide yang inheren dalam akal dan diyakini bersifat
 bawaan. Ketika kita memikirkan sesuatu, penangkapan akal atas sesuatu 
itu selalu sudah dibingkai oleh kategori. Kategori-kategori itu antara 
lain substansi, kuantitas, kualitas, relasi, waktu, tempat, dan keadaan.
Pengetahuan yang diperoleh dengan akal bersifat rasional, logis, atau
 masuk akal. Pengutamaan akal di atas sumber-sumber pengetahuan lainnya,
 atau keyakinan bahwa akal adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang 
benar, disebut aliran rasionalisme, dengan pelopornya Rene Descartes 
(1596-1650) dari Prancis. Seorang rasionalis umumnya mencela pengetahuan
 yang diperoleh lewat indera sebagai semu, palsu, dan menipu.
    3 Hati atau Intuisi
Organ fisik yang berkaitan dengan fungsi hati atau intuisi tidak 
diketahui dengan pasti; ada yang menyebut jantung, ada juga yang 
menyebut otak bagian kanan. Pada praktiknya, intuisi muncul berupa 
pengetahuan yang tiba-tiba saja hadir dalam kesadaran, tanpa melalui 
proses penalaran yang jelas, non-analitis, dan tidak selalu logis. 
Intuisi bisa muncul kapan saja tanpa kita rencanakan, baik saat santai 
maupun tegang, ketika diam maupun bergerak. Kadang ia datang saat kita 
tengah jalan-jalan di trotoar, saat kita sedang mandi, bangun tidur, 
saat main catur, atau saat kita menikmati pemandangan alam.
Intuisi disebut juga ilham atau inspirasi. Meskipun pengetahuan 
intuisi hadir begitu saja secara tiba-tiba, namun tampaknya ia tidak 
jatuh ke sembarang orang, melainkan hanya kepada orang yang sebelumnya 
sudah berpikir keras mengenai suatu masalah. Ketika seseorang sudah 
memaksimalkan daya pikirnya dan mengalami kemacetan, lalu ia 
mengistirahatkan pikirannya dengan tidur atau bersantai, pada saat 
itulah intuisi berkemungkinan muncul. Oleh karena itu intuisi sering 
disebut supra-rasional atau suatu kemampuan yang berada di atas rasio, 
dan hanya berfungsi jika rasio sudah digunakan secara maksimal namun 
menemui jalan buntu.
Hati bekerja pada wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh akal, yakni 
pengalaman emosional dan spiritual. Kelemahan akal ialah terpagari oleh 
kategori-kategori sehingga hal ini, menurut Immanuel Kant (1724-1804), 
membuat akal tidak pernah bisa sampai pada pengetahuan langsung tentang 
sesuatu sebagaimana adanya (das ding an sich) atau noumena. Akal hanya 
bisa menangkap yang tampak dari benda itu (fenoumena), sementara hati 
bisa mengalami sesuatu secara langsung tanpa terhalang oleh apapun, 
tanpa ada jarak antara subjek dan objek.
Kecenderungan akal untuk selalu melakukan generalisasi (meng-umumkan)
 dan spatialisasi (meruang-ruangkan) membuatnya tidak akan mengerti 
keunikan-keunikan dari kejadian sehari-hari. Hati dapat memahami 
pengalaman-pengalaman khusus, misalnya pengalaman eksistensial, yakni 
pengalaman riil manusia seperti yang dirasakan langsung, bukan lewat 
konsepsi akal. Akal tidak bisa mengetahui rasa cinta, hatilah yang 
merasakannya. Bagi akal, satu jam di rutan salemba dan satu jam di 
pantai carita adalah sama, tapi bagi orang yang mengalaminya bisa sangat
 berbeda. Hati juga bisa merasakan pengalaman religius, berhubungan 
dengan Tuhan atau makhluk-makhluk gaib lainnya, dan juga pengalaman 
menyatu dengan alam.
Pengutamaan hati sebagai sumber pengetahuan yang paling bisa 
dipercaya dibanding sumber lainnya disebut intuisionisme. Mayoritas 
filosof Muslim memercayai kelebihan hati atas akal. Puncaknya adalah 
Suhrawardi al-Maqtul (1153-1192) yang mengembangkan mazhab isyraqi 
(iluminasionisme), dan diteruskan oleh Mulla Shadra (w.1631). Di Barat, 
intuisionisme dikembangkan oleh Henry Bergson.
Selain itu, ada sumber pengetahuan lain yang disebut wahyu. Wahyu 
adalah pemberitahuan langsung dari Tuhan kepada manusia dan mewujudkan 
dirinya dalam kitab suci agama. Namun sebagian pemikir Muslim ada yang 
menyamakan wahyu dengan intuisi, dalam pengertian wahyu sebagai jenis 
intuisi pada tingkat yang paling tinggi, dan hanya nabi yang bisa 
memerolehnya.
Dalam tradisi filsafat Barat, pertentangan keras terjadi antara 
aliran empirisisme dan rasionalisme. Hingga awal abad ke-20, empirisisme
 masih memegang kendali dengan kuatnya kecenderungan positivisme di 
kalangan ilmuwan Barat. Sedangkan dalam tradisi filsafat Islam, 
pertentangan kuat terjadi antara aliran rasionalisme dan intuisionisme 
(iluminasionisme, ‘irfani), dengan kemenangan pada aliran yang kedua. 
Dalam kisah perjalanan Nabi Khidir a.s. dan Musa a.s., penerimaan Musa 
atas tindakan-tindakan Khidir yang mulanya ia pertanyakan dianggap 
sebagai kemenangan intuisionisme. Penilaian positif umumnya para filosof
 Muslim atas intuisi ini kemungkinan besar dimaksudkan untuk memberikan 
status ontologis yang kuat pada wahyu, sebagai sumber pengetahuan yang 
lebih sahih daripada rasio.
    4  Wahyu
Sebagai manusia yang beragama pasti meyakini bahwa wahyu merupakan 
sumber ilmu, Karena diyakini bahwa wakyu itu bukanlah buatan manusia 
tetapi buatan Tuhan Yang Maha Esa
JENIS – JENIS PENGETAHUAN
Pada umumnya pengetahuan dibagi menjadi beberapa jenis diantara nya :
1. Pengetahuan langsung (immediate);
Pengetahuan immediate adalah pengetahuan langsung yang hadir dalam 
jiwa tanpa melalui proses penafsiran dan pikiran. Kaum realis (penganut 
paham Realisme) mendefinisikan pengetahuan seperti itu. Umumnya 
dibayangkan bahwa kita mengetahui sesuatu itu sebagaimana adanya, 
khususnya perasaan ini berkaitan dengan realitas-realitas yang telah 
dikenal sebelumnya seperti pengetahuan tentang pohon, rumah, binatang, 
dan beberapa individu manusia. Namun, apakah perasaan ini juga berlaku 
pada realitas-realitas yang sama sekali belum pernah dikenal dimana 
untuk sekali meilhat kita langsung mengenalnya sebagaimana hakikatnya?. 
Apabila kita sedikit mencermatinya, maka akan nampak dengan jelas bahwa 
hal itu tidaklah demikian adanya.
2.  Pengetahuan tak langsung (mediated);
Pengetahuan mediated adalah hasil dari pengaruh interpretasi dan 
proses berpikir serta pengalaman-pengalaman yang lalu. Apa yang kita 
ketahui dari benda-benda eksternal banyak berhubungan dengan penafsiran 
dan pencerapan pikiran kita.
3. Pengetahuan indrawi (perceptual);
Pengetahuan indrawi adalah sesuatu yang dicapai dan diraih melalui 
indra-indra lahiriah. Sebagai contoh, kita menyaksikan satu pohon, batu,
 atau kursi, dan objek-objek ini yang masuk ke alam pikiran melalui 
indra penglihatan akan membentuk pengetahuan kita. Tanpa diragukan bahwa
 hubungan kita dengan alam eksternal melalui media indra-indra lahiriah 
ini, akan tetapi pikiran kita tidak seperti klise foto dimana 
gambar-gambar dari apa yang diketahui lewat indra-indra tersimpan 
didalamnya. Pada pengetahuan indrawi terdapat beberapa faktor yang 
berpengaruh, seperti adanya cahaya yang menerangi objek-objek eksternal,
 sehatnya anggota-angota indra badan (seperti mata, telinga, dan 
lain-lain), dan pikiran yang mengubah benda-benda partikular menjadi 
konsepsi universal, serta faktor-faktor sosial (seperti adat istiadat). 
Dengan faktor-faktor tersebut tidak bisa dikatakan bahwa pengetahuan 
indrawi hanya akan dihasilkan melalui indra-indra lahiriah.
4. Pengetahuan konseptual (conceptual);
Pengetahuan konseptual juga tidak terpisah dari pengetahuan indrawi. 
Pikiran manusia secara langsung tidak dapat membentuk suatu 
konsepsi-konsepsi tentang objek-objek dan perkara-perkara eksternal 
tanpa berhubungan dengan alam eksternal. Alam luar dan konsepsi saling 
berpengaruh satu dengan lainnya dan pemisahan di antara keduanya 
merupakan aktivitas pikiran.
5. Pengetahuan partikular (particular);
Pengetahuan partikular berkaitan dengan satu individu, objek-objek 
tertentu, atau realitas-realitas khusus. Misalnya ketika kita 
membicarakan satu kitab atau individu tertentu, maka hal ini berhubungan
 dengan pengetahuan partikular itu sendiri.
6. Pengetahuan universal (universal).
Pengetahuan universal mencakup individu-individu yang berbeda. 
Sebagai contoh, ketika kita membincangkan tentang manusia dimana 
meliputi seluruh individu (seperti Muhammad, Ali, hasan, husain, dan …),
 ilmuwan yang mencakup segala individunya (seperti ilmuwan fisika, 
kimia, atom, dan lain sebagainya), atau hewan yang meliputi semua 
indvidunya (seperti gajah, semut, kerbau, kambing, kelinci, burung, dan 
yang lainnya).
Dalam filsafat Islam, pengetahuan itu hanya dibagi dua, yakni ilmu 
hudhuri dan hushuli. Dengan berdasarkan pada pembagian pengetahuan di 
atas, apabila kita ingin menyingkronkan pembagian pengetahuan menurut 
filsafat Islam, maka pengetahuan langsung (immediate) tersebut sama 
halnya dengan pengetahuan hudhuri dan pengetahuan tak langsung 
(mediated), pengetahuan indrawi, pengetahuan konseptual, pengetahuan 
partikular, pengetahuan universal tersebut dikategorikan sebagai 
pengetahuan hushul
METODE MENCARI ILMU PENGETAHUAN
1. Definisi metode mencari ilmu
Secara etimologis kata metode berasal dari bahasa Inggris ‘method’ 
yang berarti ”cara”. Sedangkan dalam kamus bahasa Indonesia kata 
‘metode’ berarti “cara yang telah diatur dan dipikir baik-baik”. Istilah
 ’metode’ juga berarti ”jalan yang harus dimulai untuk mencapai tujuan”.
 Metode, menurut Senn, merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui 
sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis. Adapun yang 
dimaksud ’metode’ dalam pembahasan pada makalah ini ialah suatu cara 
yang sistematis yang dapat digunakan dalam mencari ilmu pengetahuan, 
yakni ilmu pengetahuan yang logis dan rasional.
2. Urgensi metode dalam mencari ilmu pengetahuan
Salah satu filsuf yang berpandangan bahwa filsafat sebagai usaha 
mengetahui, ialah Jacques Maritain. Ia mengatakan bahwa “ Filsafat 
bukanlah suatu ‘Kebijaksanaan’ mengenai tingkah laku atau kehidupan 
praktek yang berupa perbuatan yang baik. Filsafat ialah suatu 
kebijaksanaan dan sifatnya pada hakekatnya berupa usaha mengetahui. 
Bagaimanakah caranya? Mengetahui dalam arti yang paling penuh serta 
paling tegas, yaitu mengetahui dengan kepastian dan dapat menyatakan 
mengapa barang sesuatu itu seperti keadaannya dan tidak dapat lain 
daripada itu, artinya mengetahui berdasarkan sebab-sebabnya. Adapun yang
 dimaksud usaha untuk mengetahui di sini ialah suatu upaya untuk 
mengetahui sesuatu dengan sebuah kepastian yang tidak mengandung 
keraguan di dalamnya.
Usaha untuk mengetahui semacam ini, merupakan suatu keharusan yang 
harus dilakukan dalam mencari tahu tentang sesuatu. Jika dengan pokok 
bahasan pada makalah ini, maka yang dimaksud usaha untuk mengetahui 
dengan sebuah kepastian ini ialah suatu metode yang benar, yang dapat 
diterapkan dalam mecari ilmu pengetahuan sehingga ilmu pengetahuan yang 
diperoleh dapat dibuktikan sebagai khasanah keilmuan yang valid 
(mengandung kebenaran yang tidak diragukan).
Untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang benar, selain diperlukan 
sebuah strategi yang tepat, juga sangat membutuhkan metode yang tepat 
pula. Dalam hal ini strategi dan metode yang dipakai harus sesuai dengan
 obyek ilmu pengetahuaan yang dicari baik berdasarkan sifat maupun 
jenisnya. Apakah berupa ilmu alam atau berupa ilmu agama?
Berdasarkan uraian di atas maka pentingnya ‘metode mencari ilmu 
penegetahuan’ ialah untuk menentukan tata cara yang benar dalam rangka 
mencari ilmu pengetahuan yang benar-benar valid dan dapat dibuktikan 
kebenarannya.
3. Metode mencari ilmu pengetahuan
Cara/ usaha yang digunakan dalam mencari ilmu pengetahuan disebut 
juga metode mencari ilmu pengetahuan. Metode yang dipakai dalam mencari 
ilmu pengetahuan hendaknya juga merupakan metode yang efektif agar ilmu 
pengetahuan yang diperoleh benar-benar ilmu pengetahuan yang tidak lagi 
diragukan kebenarannya. Sebab diusahakan dengan cara yang benar. Adapun 
kebenaran yang dimaksud ialah kebenaran yang tegas dan pasti. Sebab 
kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu.
Landasan epistemologis suatu ilmu mejelaskan proses dan prosedur yang
 memungkinkan ditimbanya pengetahuan berupa ilmu serta hal-hal yang 
harus diperhatikan agar diperoleh pengetahuan yang benar, menjelaskan 
kebenaran serta kriterianya, dan cara yang membantu mendapatkan 
pengetahuan.Dalam menjelaskan masalah kebenaran pengetahuan, pengetahuan
 yang benar menurut kajian dalam epitemologis ialah pengetahuan yang 
telah memenuhi unsur-unsur epistemologis yang dinyatakan secara 
sistematis dan logis.
Menurut Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani dalam buku Filsafat 
Umum, mengatakan bahwa ”pengetahuan diperoleh dengan tiga cara, yaitu 
dari gagasan dalam pikiran atau ide, penagalaman, dan intuisi.
Adapun menurut Yuyun S. Suryasumantri (2001: 50) pada dasarnya ada 
dua cara yang pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang 
benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri kepada rasio dan kedua 
mendasarkan diri kepada pengalaman. Kaum rasionalais mengembangkan apa 
yang kita kenal dengan rasionalisme. Sedangkan mereka yang mendasarkan 
diri kepada pengalaman mengembangkan paham yang disebut dengan 
empirisme.Pendapat ini sejalan dengan epistemologi dalam pemikiran Barat
 (yang) bermuara dari dua pangkal padangannya, yaitu rasionalisme dan 
empirisme yang merupakan pilar utama metode keilmuan (scientific 
method), dan pada gilirannya kajian epstemologis tersebut dapat membuka 
perspektif baru dalam ilmu pengetahuan yang multi-dimensional.
Metode memperoleh ilmu dalam konsep Islam tidak hanya terbatas pada 
yang empiris saja atau rasio saja, tetapi juga menggunakan intuisi atau 
wahyu.
Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat beberapa metode yang dapat 
digunakan untuk mencari ilmu pengetahuan, menurut filsuf barat adalah 
dengan metode Trial and Error metode mencoba-coba). Rasionalisme, 
Empirisme, Fenomenalisme, Intusionisme, Wahyu, Metode Ilmiah

Keren sob
BalasHapuswww.kiostiket.com