Minggu, 11 November 2012

Transeksual

Transeksualitas adalah kondisi dimana seseorang secara psikologis merasa memiliki jender dan identitas seksual yang berbeda dengan kondisi biologis seksual tubuh mereka sebagaimana mereka dilahirkan. Secara sederhana, artinya seseorang yang jender psikologisnya bertentangan dengan jenis kelamin biologinya. Diagnosa medis dapat ditempuh ketika seseorang merasa tidak nyaman dengan identitas seksual tubuhnya dan adanya hasrat yang kuat untuk menjadi anggota lawan jenisnya, atau jika seseorang tidak dapat berfungsi secara normal atau menderita stres akibat identitas jendernya.
Fenomena psikologi ini dikenal luas dalam berbagai budaya dan terjadi pada berbagai ras di dunia, dan di Indonesia secara populer dikenal dengan istilah banci atau bencong. Transseksualitas secara tradisional dianggap sebagai stigma atau hal yang dianggap tercela, dan hal yang dianggap tabu. Topik ini menjadi lebih dikenal di negara-negara Barat pada abad ke-20 karena revolusi seksual, tetapi tetap menjadi topik kontroversial.

Diagnosis Kejiwaan Transeksualisme

Transeksualisme muncul dalam dua panduan diagnostik utama yang dipergunakan oleh tenaga kesehatan jiwa di seluruh dunia, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM, sekarang sudah edisi keempat) yang dikeluarkan oleh Asosiasi Psikiater Amerika, dan International Statistical Classification of Disease and Related Health Problems (ICD, saat ini sudah terdapat edisi kesepuluh). ICD-10 menyatukan transeksualisme, transvetisme peranan ganda, dan kelainan identitas gender pada masa kecil dalam kategori gangguan identitas gender, dan mendefinisikan transeksualisme sebagai “keinginan untuk hidup dan diterima sebagai anggota anggota jenis kelamin yang lain, biasanya disertai oeh rasa tidak nyaman, perasaan tidak pantas terhadap kelamin anatomik yang dimiliki, dan terdapatnya keinginan untuk menjalani pembedahan dan pengobatan hormonal untuk membuat tubuh dari penderita semirip mungkin dengan jenis kelamin yang diinginkan.”  DSM tidak membedakan antara gangguan identitas gender dan transeksualisme, dan menjelaskan transvetic fetihisme sebagai fenomena terpisah yang dapat terjadi secara bersamaan dengan transeksualisme. Diagnosis DSM memerlukan empat komponen:
  • Keinginan atau keyakinan bahwa dirinya adalah anggota dari jenis kelamin yang berlainan (yang bukan disebabkan oleh manfaat-manfaat atau keuntungan yang didapatkan oleh jenis kelamin yang berlainan)
  • Bukti-bukti ketidaknyamanan yang menetap, berserta perasaan tidak pantas terhadap jenis kelamin biologis dari individu tersebut
  • gangguan tersebut tidak terjadi bersamaan dengan kelainan interseks secara fisik.
  • Gangguan tersebut menimbulkan gangguan yang signifikan secara klinis, atau terdapat gangguan yang signifikan pada fungsi sosial, pekerjaan, ataupun bidang-bidang lain.
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Transseksualitas

Kehadiran Transeksual Di Tengah Masyarakat

Hidup dengan membuat diri tampak berbeda dengan yang lain tentu bukanlah hal yang mudah. Terutama jika lingkungan sekitar bersikap skeptis dan tidak menerima segala perbedaan yang ada. Begitu pula dengan yang dirasakan oleh para transeksual.
Menjadi golongan minoritas memang memiliki risiko tersendiri, salah satunya adalah dikucilkan dari masyarakat. Para transeksual bersama dengan gerakan Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) pun ingin mengubah pandangan banyak orang bahwa kehadiran mereka bukanlah sesuatu yang berbahaya dan mereka juga berhak hidup normal seperti masyarakat pada umumnya.
Walau reformasi dan perkembangan menuju masyarakat demokratis telah terbuka, namun hingga kini masih banyak diskriminasi terhadap hak asasi manusia dan pluralisme yang masih banyak terjadi di Indonesia. Tidak hanya dalam segi kebebasan beragama, kelompok minoritas yang memiliki orientasi seksual dan identitas gender yang berbeda pun masih jauh dari bentuk perlindungan.
Denmark, Inggris, Brasil, Amerika Sserikat, Belanda, Belgia, Spanyol, Kanada, Afrika Selatan, Norwegia, Swedia, Portugal, Islandia, dan Argentina, adalah negara di dunia yang telah memberikan kebebasan dalam orientasi seksual dan gender tersebut, yang bahkan telah melegalkan pernikahan sesama jenis sejak beberapa tahun yang lalu.
Tidak hanya untuk para kaum homoseksual saja, namun para transgender juga memiliki hak yang sama sebagai warga negara. Negara-negara tersebut juga membuat Undang-Undang yang memberikan hak dan perlindungan terhadap para kaum LGBT dalam bentuk pencatatan.
Pemberian hak dan Undang-Undang tersebut mungkin masih sulit untuk dilakukan di Indonesia. Beberapa ormas di negara ini bahkan melakukan tindakan yang cenderung anarkis terhadap kaum minoritas dengan perbedaan orientasi seksual dan identitas gender yang ada di masyarakat ini.
Selain beberapa insiden yang terjadi, menurut aktivis LGBT, mereka menemukan bahwa peraturan-peraturan daerah (Perda) bahkan tidak melindungi atau justru mendiskriminasi kaum LGBT.
Walaupun mereka berbeda dengan para heteroseksual pada umumnya, namun bukan berarti para LGBT di setiap negara tidak memiliki hak untuk hidup, sehingga menjadi korban diskriminasi atau bahkan kekerasan secara fisik dan verbal.
Menerima perbedaan memang hal yang tidak mudah, namun menghargai keberadaan mereka bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan. Karena kehebatan dari setiap individu tidak terletak pada perbedaan yang tampak, namun lebih kepada suatu hal yang dilakukannya untuk dirinya sendiri, orang lain, dan juga negara.

Sumber :  http://www.oktomagazine.com/oktofamily/psychology/5668/kehadiran.transeksual.di.tengah.masyarakat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar