Rabu, November 11, 2009
http://www.masbow.com/2009/11/gaya-hidup-clubbing-remaja.html
Gaya hidup menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” yang berinteraksi
dengan lingkungannya (Kottler dalam Sakinah,2002). Menurut Susanto (dalam
Nugrahani,2003) gaya hidup adalah perpaduan antara kebutuhan ekspresi diri dan
harapan kelompok terhadap seseorang dalam bertindak berdasarkan pada norma yang
berlaku. Oleh karena itu banyak diketahui macam gaya hidup yang berkembang di
masyarakat sekarang misalnya gaya hidup hedonis, gaya hidup metropolis, gaya
hidup global dan lain sebagainya.
Plummer (1983) gaya hidup adalah cara hidup individu yang di identifikasikan oleh
bagaimana orang menghabiskan waktu mereka (aktivitas), apa yang mereka anggap
penting dalam hidupnya (ketertarikan) dan apa yang mereka pikirkan tentang
dunia sekitarnya. Adler (dalam Hall & Lindzey, 1985) menyatakan bahwa gaya
hidup adalah hal yang paling berpengaruh pada sikap dan perilaku seseorang
dalam hubungannya dengan 3 hal utama dalam kehidupan yaitu pekerjaan,
persahabatan, dan cinta sedangkan Sarwono (1989) menyatakan bahwa salah satu
faktor yang mempengaruhi gaya hidup adalah konsep diri.
Hawkins (dalam Nugroho, 2002) yang mengatakan bahwa pola hidup yang berhubungan
dengan uang dan waktu dilaksanakan oleh seseorang berhubungan dengan keputusan.
Orang yang sudah mengambil suatu keputusan langkah selanjutnya adalah tindakan.
Orang yang sudah mengambil keputusan untuk mencari kesenangan dari uang yang
dimiliki seperti melakukan aktivitas nyata untuk berbelanja di mall atau
supermarket, tentu saja memberi nilai tambah dari pada berbelanja di toko
biasa. Adapun penggunaan waktu dengan gaya hidup merupakan kreativitas individu
dalam memanfaatkan waktu yang ada untuk kegiatan yang bermanfaat atau kegiatan
untuk bersenang-senang.
Menurut SRI International (1989) salah satu contoh segmentasi psikografis
adalah VALS 2. Dalam VALS 2 (Values & Life Style) terdapat dua dimensi yang
menjadi titik beratnya, yaitu self orientation dan resources. Resources yang
dimaksudkan bukanlah semata-mata materi, tetapi dalam arti yang luas yang
mencakup sarana dan kapasitas psikologis, fisik, dan demografis. Dalam perilaku
konsumsi yang didorong oleh self orientation terdapat tiga kategori yaitu
principle, status dan action. Self orientation yang bertumpu pada principle,
berarti keputusan untuk membeli berdasarkan karena keyakinannya. sehingga
keputusannya untuk membeli bukan hanya karena ikut-ikutan atau sekedar untuk
mengejar gengsi. Boleh dikatakan tipe ini lebih rasional sedangkan yang
bertumpu pada status, keputusannya dalam mengkonsumsi didominasi oleh apa kata
orang. Produk-produk bermerek menjadi pilihannya. Bagi yang bertumpu kepada
action, keputusan dalam berkonsumsi didasari oleh keinginannya untuk
beraktivitas sosial maupun fisik, mendapatkan selingan atau menghadapi resiko.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gaya hidup adalah pola hidup
seseorang di dunia yang di ekspresikan dalam aktivitas, minat, opininya dan
dimensi self orientation gaya hidup mencakup tiga kategori yaitu prinsip,
status, aksi.
Bentuk-bentuk Gaya Hidup
Menurut Chaney (dalam Idi Subandy,1997) ada beberapa bentuk gaya hidup,
antara lain :
a. Industri Gaya Hidup
Dalam abad gaya hidup, penampilan-diri itu justru mengalami estetisisasi,
"estetisisasi kehidupan sehari-hari" dan bahkan tubuh/diri
(body/self) pun justru mengalami estetisisasi tubuh. Tubuh/diri dan kehidupan sehari-hari
pun menjadi sebuah proyek, benih penyemaian gaya hidup. "Kamu bergaya maka
kamu ada!" adalah ungkapan yang mungkin cocok untuk melukiskan
kegandrungan manusia modern akan gaya. Itulah sebabnya industri gaya hidup
untuk sebagian besar adalah industri penampilan.
b. Iklan Gaya Hidup
Dalam masyarakat mutakhir, berbagai perusahaan (korporasi), para politisi,
individu-individu semuanya terobsesi dengan citra. Di dalam era globalisasi
informasi seperti sekarang ini, yang berperan besar dalam membentuk budaya
citra (image culture) dan budaya cita rasa (taste culture) adalah gempuran
iklan yang menawarkan gaya visual yang kadang-kadang mempesona dan memabukkan.
Iklan merepresentasikan gaya hidup dengan menanamkan secara halus (subtle) arti
pentingnya citra diri untuk tampil di muka publik. Iklan juga perlahan tapi
pasti mempengaruhi pilihan cita rasa yang kita buat.
c. Public Relations dan Journalisme Gaya Hidup
Pemikiran mutakhir dalam dunia promosi sampai pada kesimpulan bahwa dalam
budaya berbasis-selebriti (celebrity based-culture), para selebriti membantu
dalam pembentukan identitas dari para konsumen kontemporer. Dalam budaya
konsumen, identitas menjadi suatu sandaran "aksesori fashion". Wajah
generasi baru yang dikenal sebagai anak-anak E-Generation, menjadi seperti
sekarang ini dianggap terbentuk melalui identitas yang diilhami selebriti
(celebrity-inspired identity)-cara mereka berselancar di dunia maya (Internet),
cara mereka gonta-ganti busana untuk jalan-jalan. Ini berarti bahwa selebriti
dan citra mereka digunakan momen demi momen untuk membantu konsumen dalam
parade identitas.
d. Gaya Hidup Mandiri
Kemandirian adalah mampu hidup tanpa bergantung mutlak kepada sesuatu yang
lain. Untuk itu diperlukan kemampuan untuk mengenali kelebihan dan kekurangan
diri sendiri, serta berstrategi dengan kelebihan dan kekurangan tersebut untuk
mencapai tujuan. Nalar adalah alat untuk menyusun strategi. Bertanggung jawab
maksudnya melakukan perubahan secara sadar dan memahami betuk setiap resiko
yang akan terjadi serta siap menanggung resiko dan dengan kedisiplinan akan
terbentuk gaya hidup yang mandiri. Dengan gaya hidup mandiri, budaya
konsumerisme tidak lagi memenjarakan manusia. Manusia akan bebas dan merdeka
untuk menentukan pilihannya secara bertanggung jawab, serta menimbulkan
inovasi-inovasi yang kreatif untuk menunjang kemandirian tersebut.
e. Gaya Hidup Hedonis
Gaya hidup hedonis adalah suatu pola hidup yang aktivitasnya untuk mencari
kesenangan hidup, seperti lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah, lebih
banyak bermain, senang pada keramaian kota, senang membeli barang mahal yang
disenanginya, serta selalu ingin menjadi pusat perhatian.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk dari suatu gaya hidup dapat
berupa gaya hidup dari suatu penampilan, melalui media iklan, modeling dari
artis yang di idola kan, gaya hidup yang hanya mengejar kenikmatan semata
sampai dengan gaya hidup mandiri yang menuntut penalaran dan tanggung jawab
dalam pola perilakunya.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gaya Hidup
Menurut pendapat Amstrong (dalam Nugraheni, 2003) gaya hidup seseorang dapat
dilihat dari perilaku yang dilakukan oleh individu seperti kegiatan-kegiatan
untuk mendapatkan atau mempergunakan barang-barang dan jasa, termasuk
didalamnya proses pengambilan keputusan pada penentuan kegiatan-kegiatan
tersebut.
Lebih lanjut Amstrong (dalam Nugraheni, 2003) menyatakan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi gaya hidup seseorang ada 2 faktor yaitu faktor yang berasal
dari dalam diri individu (internal) dan faktor yang berasal dari luar
(eksternal).
Faktor internal yaitu sikap, pengalaman, dan pengamatan, kepribadian, konsep
diri, motif, dan persepsi (Nugraheni, 2003) dengan penjelasannya sebagai
berikut :
a.Sikap
Sikap berarti suatu keadaan jiwa dan keadaan pikir yang dipersiapkan
untuk memberikan tanggapan terhadap suatu objek yang diorganisasi melalui
pengalaman dan mempengaruhi secara langsung pada perilaku. Keadaan jiwa
tersebut sangat dipengaruhi oleh tradisi, kebiasaan, kebudayaan dan lingkungan
sosialnya.
b.Pengalaman dan pengamatan
Pengalaman dapat mempengaruhi pengamatan sosial
dalam tingkah laku, pengalaman dapat diperoleh dari semua tindakannya dimasa
lalu dan dapat dipelajari, melalui belajar orang akan dapat memperoleh
pengalaman. Hasil dari pengalaman sosial akan dapat membentuk pandangan
terhadap suatu objek.
c.Kepribadian
Kepribadian adalah konfigurasi karakteristik individu dan cara
berperilaku yang menentukan perbedaan perilaku dari setiap individu.
d. Konsep Diri
Faktor lain yang menentukan
kepribadian individu adalah konsep diri. Konsep diri sudah menjadi pendekatan
yang dikenal amat luas untuk menggambarkan hubungan antara konsep diri konsumen
dengan image merek. Bagaimana individu memandang dirinya akan mempengaruhi
minat terhadap suatu objek. Konsep diri sebagai inti dari pola kepribadian akan
menentukan perilaku individu dalam menghadapi permasalahan hidupnya, karena
konsep diri merupakan frame of reference yang menjadi awal perilaku.
e. Motif.
Perilaku individu muncul karena adanya motif kebutuhan untuk merasa
aman dan kebutuhan terhadap prestise merupakan beberapa contoh tentang motif.
Jika motif seseorang terhadap kebutuhan akan prestise itu besar maka akan
membentuk gaya hidup yang cenderung mengarah kepada gaya hidup hedonis.
f. Persepsi
Persepsi adalah proses dimana seseorang memilih, mengatur, dan menginterpretasikan
informasi untuk membentuk suatu gambar yang berarti mengenai dunia.
Adapun faktor eksternal dijelaskan oleh Nugraheni (2003) sebagai berikut :
a. Kelompok referensi. Kelompok referensi adalah kelompok yang memberikan
pengaruh langsung atau tidak langsung terhadap sikap dan perilaku seseorang.
Kelompok yang memberikan pengaruh langsung adalah kelompok dimana individu
tersebut menjadi anggotanya dan saling berinteraksi, sedangkan kelompok yang
memberi pengaruh tidak langsung adalah kelompok dimana individu tidak menjadi
anggota didalam kelompok tersebut. Pengaruh-pengaruh tersebut akan menghadapkan
individu pada perilaku dan gaya hidup tertentu.
b. Keluarga. Keluarga memegang peranan terbesar dan terlama dalam pembentukan
sikap dan perilaku individu.Hal ini karena pola asuh orang tua akan membentuk
kebiasaan anak yang secara tidak langsung mempengaruhi pola hidupnya.
c. Kelas sosial. Kelas sosial adalah sebuah kelompok yang relatif homogen dan
bertahan lama dalam sebuah masyarakat, yang tersusun dalam sebuah urutan
jenjang, dan para anggota dalam setiap jenjang itu memiliki nilai, minat, dan
tingkah laku yang sama. Ada dua unsur pokok dalam sistem sosial pembagian kelas
dalam masyarakat, yaitu kedudukan (status) dan peranan. Kedudukan sosial
artinya tempat seseorang dalam lingkungan pergaulan, prestise hak-haknya serta
kewajibannya. Kedudukan sosial ini dapat dicapai oleh seseorang dengan usaha
yang sengaja maupun diperoleh karena kelahiran. Peranan merupakan aspek yang
dinamis dari kedudukan. Apabila individu melaksanakan hak dan kewajibannya
sesuai dengan kedudukannya maka ia menjalankan suatu peranan.
d. Kebudayaan. Kebudayaan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
moral, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh individu
sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang
dipelajari dari pola-pola perilaku yang normatif, meliputi ciri-ciri pola
pikir, merasakan dan bertindak.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi gaya hidup berasal dari dalam (internal) dan dari luar
(eksternal). Faktor internal meliputi sikap, pengalaman dan pengamatan,
kepribadian, konsep diri, motif , dan persepsi. Adapun faktor eksternal
meliputi kelompok referensi, keluarga, kelas sosial, dan kebudayaan.
Clubbing
1. Pengertian Clubbing
Clubbing merupakan istilah prokem khas anak muda yang berarti suatu dunia malam
yang bernuansa kebebasan, ekspresif, modern, teknologis, hedonis, konsumeristik
dan metropolis yang menjanjikan segala bentuk kegembiraan sasaat (Perdana,
2004). Melalui clubbing khususnya anak muda merasa menemukan jati diri, disana
mereka bisa “berjingkrak-jingkrak” sebebasnya, meneguk alkohol dan narkoba,
cekikikan sampai pagi, lalu pulang dalam keadaan teler dan capai. Melalui
clubbing mereka bisa menemukan komunitas bergaulnya. Singkatnya clubbing adalah
just having fun, sekedar hura-hura dan membutuhkan banyak uang.
Clubbing sudah sangat identik dengan kehidupan masyarakat metropolitan. Tidak
hanya menjadi bagian dari gaya hidup, tapi juga menjadi sarana bersosialisasi,
bahkan melakukan lobi bisnis. Dulu clubbing selalu diasosiasikan dengan musik
menghentak yang dapat membuat orang larut dalam suasana. Seiring perkembangan
zaman, clubbing mengalami banyak pergeseran karena tidak semua orang suka musik
semacam itu. Pada hakikatnya suasana yang hingar bingar bukan lagi daya tarik
utama. Banyak tempat hiburan di Jakarta meninggalkan konsep diskotek dan
beralih pada konsep Resto and lounge yang ternyata lebih menarik konsumen usia
25-35 tahun. Kehadiran Resto and lounge yang bertebaran di Jakarta tidak
berarti gulung tikarnya beberapa tempat yang benar-benar dirancang bagi yang
hobi melantai diiringi musik seorang DJ atau Disc Jockey (www.bintang.com)
Jumlah tempat hiburan malam terus bertambah. Kejenuhan pasar membuat tawaran konsep
harus berbeda dengan yang telah beroperasi. HL adalah salah satu tempat
clubbing favorit clubbers di Jakarta, pada malam-malam clubbers khususnya
ketika discotime dimulai pada jam 11 malam tenpat ini selalu ramai. Para
pebisnis entertaiment ini sangat pintar untuk menarik perhatian para clubbers
dengan memberikan fasilitas-fasilitas yang beragam yang menjadi trend setter
bagi kalangan night society, misalnya dengan membebaskan para wanita biaya
cover charge dan membiarkan mereka clubbing sepenuhnya agar kaum wanita yang
datang membludak dan kaum pria akan terpancing untuk datang ketempat tersebut.
Selain itu dengan memberikan free flow vodka and champagne for ladies all night
(memberikan minum vodka dan champgne untuk wanita sepanjang malam), bahkan yang
lebih berani adalah menjual program yang berbau sexy, seksual yang menjadi
fokus utama (www.popular.maj.com).
Adat dan tradisi masa lalu benar-benar tergeser dengan adanya perkembangan
dunia yang semakin pesat. Dengan kecanggihan pengetahuan dan teknologi
industrialisme. Bangsa barat berhasil merangsak bangsa-bangsa timur (terutama
yang berbaris Islam) dengan produk-produknya yang ditumpangi oleh warna-warna
budaya barat yang sangat kontras dengan moralitas dan religiusitas bangsa
timur. Misalnya dengan adanya trend fashion yang pamer aurat, dentum musik yang
merangsang kelalaian hati terhadap Allah, ajang pergaulan bebas yang memanjakan
syahwat setan hingga sarana-sarana teknologis yang membutuhkan solidaritas
sosial. Semua produk yang dipromosikan secara massal tersebut sebenarnya
merupakan bentuk baru penjajahan neo-kolonisme. Ironisnya, kebanyakan dari kita
terutama kaum clubbing sama sekali tidak menyadari ancaman-ancaman moralitas
dan martabat dari invasi tersebut, justru memantapkan diri sebagai bagian
penyembah dan budak dari penjajahan kapitalisme tersebut yang sesuai dengan
ideologi mereka just having fun.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa clubbing merupakan suatu
kegiatan untuk datang dan menikmati suasana, suguhan hiburan, makanan dan
minuman di tempat-tempat hiburan malam yang bernuansa kebebasan, ekspresif,
modern, teknologis, hedonis, konsumeristik dan metropolis yang menjanjikan
segala bentuk kegembiraan sesaat.
2. Pelaku Clubbing
Mayoritas para clubbers adalah para generasi muda yang memiliki status
sosio-ekonomi yang cukup baik. Ini terlihat dari kebutuhan-kebutuhan material
yang menopang aktivitas clubbing yang jelas membutuhkan dana ekstra. Mulai dari
pemilihan pakaian yang bermerek, properti, kendaraan, hingga perangkat clubbing
itu sendiri (Perdana.2004).
Selain itu menurut Susanto (2001), konsumen atau para pelaku clubbing itu tidak
hanya para generasi muda yang notabennya sebagai pelajar dan mahasiswa, tetapi
para eksekutif muda, pengusaha-pengusaha sukses, bahkan ibu rumah tangga ada
juga yang menjadi para pelaku clubbing.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa para pelaku clubbing itu
mayoritas berasal dari para generasi muda, para eksekutif muda,
pengusaha-pengusaha sukses dan ibu rumah tangga pun juga ada yang melakukan
clubbing.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Clubbing
Kaum clubbers secara logis dalam konteks ini adalah kaum plagiator yang
mengimpor secara mentah-mentah gaya hidup dunia barat kedalam kehidupan sosial
mereka. Di kalangan para clubbers, ada tiga narasi yang selalu melandasi cara
pandang dan perilakunya, yakni gaul, funcy, dan happy dimana kesemuanya
berlabuh pada satu narasi besar (grand naration) yakni gensi. Tidak jelas siapa
yang mulai melontarkan dan mempopulerkan istilah tersebut, disini Perdana
(2004) dalam bukunya yang berjudul “Dugem : ekspresi cinta, seks, dan jati
diri” menjelaskan wujud ekspresi dari ketiga narasi tersebut. Hal tersebut
merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi generasi muda melakukan clubbing.
Adapun faktor-faktornya adalah :
a. “Gaul”, istilah “gaul” berasal dari kata baku “bergaul” atau “pergaulan”
yaitu sebuah sistem sosial yang terbentuk melalui interaksi, komunikasi dan
kontak sosial yang melibatkan lebih dari satu orang. Akan tetapi dalam komunitas
clubbing, istilah “gaul” bukan lagi menjadi “media sosialisasi” untuk
melengkapi fitrah kemanusiaannya, melainkan kebanyakan telah menjadi “ajang
pelampiasan hawa nafsu”. Kebanyakan bentuk “gaul” ini justru menjadi pintu
gerbang bagi lahirnya generasi-generasi penganut seks bebas, pecandu narkoba,
hingga pelacuran dan penjahat sosial.
b. Funcy, istilah funcy secara aksiologis tanpa memperdebatkan wacana
epitemologisnya, istilah funcy selalu berlekatan dengan istilah “gaul”.
Pemaknaan funcy selalu dipertautkan dengan bentuk-bentuk eksperimentasi yang
tanpa landasan argumentasi yang jelas, sekedar mencari sensasi dan pelampiasan
emosi-emosi jiwa yang tidak terkendali. Ini bisa dilihat dari hasil
eksperimentasi mereka dalam hal kostum, kendaraan, fisik dan gaya hidup.
c. Happy, istilah happy berasal dari bahasa inggris yang berarti bahagia,
selalu bahagia. Dengan “bergaul”, berinteraksi dan membaur dalam warna
komunitas “bergaul”nya, kaum remaja merasa menemukan jati diri yang tepat
dengan selera dan jiwa mudanya daripada apa yang didapatkan dari lingkungan
keluarga. Mereka merasa menemukan kebahagiaan sejati disini yaitu bebas berbuat
apa saja, banyak teman, termasuk bebas menyalurkan gelora libido seksualnya.
Namun kebahagiaan yang mereka dapatkan adalah kebahagiaan semu.
Clubbing merupakan salah satu gaya hidup di zaman sekarang yang merupakan hasil
adopsi dari negara-negara barat. Seseorang melakukan clubbing ada kemungkinan
besar karena terinspirasi akan kehidupan para selebritis, orang-orang terkenal,
orang-orang yang bekerja di bidang intertainmen dalam memperoleh kesenangan.
Clubbing dipandang oleh individu sebagai gaya hidup yang modern. Piliang (2006)
menyatakan bahwa individu dalam mengikuti gaya hidup modern dipengaruhi oleh
faktor intern dan faktor ekstern.
Faktor intern merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu
berhubungan dengan minat dan dorongan seseorang untuk melakukan kegiatan yang
diinginkan sesuai dengan perasaan hati. Selain itu, faktor intern individu
melakukan clubbing dipengaruhi sikap. Sikap lebih cenderung berhubungan dengan
kepribadian individu dalam menentukan suatu fenomena yang ditemui dalam
kehidupannya (Piliang, 2006).
Dilanjutkan oleh Piliang (2006) bahwa faktor ektern merupakan faktor di luar
individu yang dapat mempengaruhi sikap dan perilaku individu dalam kehidupan
sehari-hari. Faktor ekstern ini dibedakan atas faktor keluarga dan faktor
lingkungan sosial. Faktor lingkungan keluarga yang kurang harmonis berdampak
pada anggota keluarga untuk mencari kesenangan di luar rumah dan clubbing
merupakan satu pilihan untuk mencari kesenangan tersebut. Adapun faktor
lingkungan sosial merupakan faktor sosial individu dalam kegiatannya
sehari-hari. Individu yang memiliki sifat tidak tetap pendiriannya akan mudah
terpengaruh oleh keadaan lingkungan sosial, di mana individu melakukan
aktivitas kehidupan sehari-hari. Apabila lingkungan sosial cenderunng dalam
kehidupan clubbing, maka ada kemungkinan besar individu tersebut juga masuk
dalam lingkungan yang menyenangi gaya hidup clubbing.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi generasi muda untuk melakukan clubbing adalah faktor intern dan
ekstern. Faktor intern yang berasal dari individu berhubungan dengan minat,
motivasi, dan sikap (untuk hidup funcy dan happy). Adapun faktor ekstern
berasal dari lingkungan keluarga dan lingkungan sosial (berhubungan dengan
pergaulan individu).