Sabtu, 20 Oktober 2012

Fenomena Jokowi



Jokowi (Joko Widodo), siapa yang tidak mengenal namanya belakangan ini? Namanya menjalar, merambat dan menggema ke pelosok penjuru negeri. Dia adalah sosok pemimpin kepala daerah yang cukup bersahaja dan dekat dengan masyarakatnya. Dia memimpin daerahnya sampai ke gang-gang sempit hingga ke pasar yang dulu dianggap kumuh akibat tangan dinginnya dia menyulap menjadi pasar tradisional yang modern aman dan bersih. Sungguh sesuatu yang jarang dilakukan pemimpin kita belakangan ini.

Kota Surakarta alias Solo, dimana Jokowi memimpin sebagai wali kota, pun semakin maju dan menjadi kota internasional karena kreatifitas Jokowi. Beliau mem”branding” kota Solo sebagai Spirit of Java yang menjadikan kota Solo salah satu kota budaya dan pusat MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition) yang sukses. Segala gerak pembangunan kota ini pun dilakukan dengan penuh kreatifitas dan terobosan demi mensejahterakan rakyat.
Fenomena Jokowi yang kerap menjadi bahan pembicaraan membuat banyak partai politik yang meliriknya. Sampai dia harus digadang-gadang untuk maju menjadi pemimpin Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Dan bahkan dia diramalkan akan mengisi aja pemimpin baru pada pemilihan umum 2014 yang akan datang. Wajar saja, ketika Jokowi lebih dikenal karena prestasinya membawa Kota Solo menjadi kota idaman sekaligus panutan bagi kota-kota yanga ada di Indonesia bahkan dunia.
Solo telah ditetapkan sebagai nominasi kota terbaik diseluruh dunia. Dan bukan hanya Solo, Jokowi yang menjabat sebagai Walikota Solo juga mendapat perhatian dunia saat dia di daulatkan menjadi calon walikota terbaik di dunia. Sungguh fenomena yang cukup jarang di bumi pertiwi kita, Indonesia. Pencapaian ini perlu di apresiasi sebagai bukti masih ada juga peimpin yang punya visi dan cenderung ‘bersih’ dari tindak pidana korupsi.
Jakarta sebagai ibukota negara dan sebagai etalase negara. Jakarta selayaknya mempertontonkan keindahan dan kenyamanan bagi para pengunjungnya. Tetapi yang terjadi Jakarta justru menjadi kota yang paling dibenci oleh para turis asing dan domestic serta pencari kerja ditengah tuntutan “mencari hidup”. Kesemberawutan lalu lintas (macet), gelandangan, rumah-rumah kumuh, jalanan yang rusak dan amburadul, banjir dan kriminalitas yang tinggi adalah pemandangan Jakarta sehari-hari. Hampir tak ada perubahan kearah yang membaik selama 5 tahun terakhir. Hampir saja Jakarta dikatakan sebagai kota gagal mengingatnya kompleksitas permasalahan yang membelitnya.
Jokowi datang ke Jakarta dengan membawa konsep “Jakarta Baru”. Berbekal dengan sentuhan kreatifitas yang tidak biasa, Jokowi hadir dengan kemeja kotak-kotaknya. Tidak bisa dipungkiri, konstelasi Pilkada Jakarta dari putaran pertama ke putaran kedua menunjukkan dinamika tinggi yang terus memancing kreativitas untuk mencari simpati dukungan suara warga. Jokowi harus siap bertanding dengan calonincumbent, Fauzi Bowo (Foke) yang didukung oleh segudang partai-partai besar kecuali partai pengusung rivalnya yaitu PDIP dan Gerindra. Wajar ketika ungkapan “Semut yang dikelilingi Gajah-Gajah besar” dialamatkan kepada Jokowi. Pertanyaannya, mampukah sang semut lepas dari gerombolan Gajah-Gajah besar? Tunggu tanggal mainnya.
Penulis berkeinginan agar kepala-kepala daerah bisa melihat figur Jokowi sungguh amat menginspirasi ditengah-tengah pesimisme masyarakat melihat tingkah dan sikap pemimpin kita yang jauh dari kata seorang pelayanan masyarakat. Sekaligus, masyarakat dapat menemukan figur yang dapat dijadikan bahan pembanding buat kemajuan daerah-daerah di Nusantara.
Dalam teori perubahan, pemimpin (kepala daerah) punya peran yang cukup signifikan dalam membawa perubahan di masyarakat. Pengawasan masyarakat juga di nilai perlu sebagai bagian dari sistem pengawasan (social control) yang akan menjadi penentu efektivitas dan efisiensi wujud pengelolaan tata pemerintahan (good governance).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar