Jokowi (Joko Widodo), siapa yang
tidak mengenal namanya belakangan ini? Namanya menjalar, merambat dan menggema
ke pelosok penjuru negeri. Dia adalah sosok pemimpin kepala daerah yang cukup
bersahaja dan dekat dengan masyarakatnya. Dia memimpin daerahnya sampai ke
gang-gang sempit hingga ke pasar yang dulu dianggap kumuh akibat tangan
dinginnya dia menyulap menjadi pasar tradisional yang modern aman dan bersih.
Sungguh sesuatu yang jarang dilakukan pemimpin kita belakangan ini.
Kota Surakarta alias Solo, dimana
Jokowi memimpin sebagai wali kota, pun semakin maju dan menjadi kota
internasional karena kreatifitas Jokowi. Beliau mem”branding” kota
Solo sebagai Spirit of Java yang menjadikan kota Solo salah
satu kota budaya dan pusat MICE (Meeting, Incentive, Convention, and
Exhibition) yang sukses. Segala gerak pembangunan kota ini pun
dilakukan dengan penuh kreatifitas dan terobosan demi mensejahterakan rakyat.
Fenomena Jokowi yang kerap
menjadi bahan pembicaraan membuat banyak partai politik yang meliriknya. Sampai
dia harus digadang-gadang untuk maju menjadi pemimpin Daerah Khusus Ibukota
(DKI) Jakarta. Dan bahkan dia diramalkan akan mengisi aja pemimpin baru pada
pemilihan umum 2014 yang akan datang. Wajar saja, ketika Jokowi lebih dikenal
karena prestasinya membawa Kota Solo menjadi kota idaman sekaligus panutan bagi
kota-kota yanga ada di Indonesia bahkan dunia.
Solo telah ditetapkan sebagai
nominasi kota terbaik diseluruh dunia. Dan bukan hanya Solo, Jokowi yang
menjabat sebagai Walikota Solo juga mendapat perhatian dunia saat dia di
daulatkan menjadi calon walikota terbaik di dunia. Sungguh fenomena yang cukup
jarang di bumi pertiwi kita, Indonesia. Pencapaian ini perlu di apresiasi
sebagai bukti masih ada juga peimpin yang punya visi dan cenderung ‘bersih’
dari tindak pidana korupsi.
Jakarta sebagai ibukota negara
dan sebagai etalase negara. Jakarta selayaknya mempertontonkan keindahan dan
kenyamanan bagi para pengunjungnya. Tetapi yang terjadi Jakarta justru menjadi
kota yang paling dibenci oleh para turis asing dan domestic serta pencari kerja
ditengah tuntutan “mencari hidup”. Kesemberawutan lalu lintas (macet),
gelandangan, rumah-rumah kumuh, jalanan yang rusak dan amburadul, banjir dan
kriminalitas yang tinggi adalah pemandangan Jakarta sehari-hari. Hampir tak ada
perubahan kearah yang membaik selama 5 tahun terakhir. Hampir saja Jakarta
dikatakan sebagai kota gagal mengingatnya kompleksitas permasalahan yang
membelitnya.
Jokowi datang ke Jakarta dengan
membawa konsep “Jakarta Baru”. Berbekal dengan sentuhan kreatifitas yang tidak
biasa, Jokowi hadir dengan kemeja kotak-kotaknya. Tidak bisa dipungkiri,
konstelasi Pilkada Jakarta dari putaran pertama ke putaran kedua menunjukkan
dinamika tinggi yang terus memancing kreativitas untuk mencari simpati dukungan
suara warga. Jokowi harus siap bertanding dengan calonincumbent, Fauzi
Bowo (Foke) yang didukung oleh segudang partai-partai besar kecuali partai
pengusung rivalnya yaitu PDIP dan Gerindra. Wajar ketika ungkapan “Semut yang
dikelilingi Gajah-Gajah besar” dialamatkan kepada Jokowi. Pertanyaannya,
mampukah sang semut lepas dari gerombolan Gajah-Gajah besar? Tunggu tanggal
mainnya.
Penulis berkeinginan agar
kepala-kepala daerah bisa melihat figur Jokowi sungguh amat menginspirasi
ditengah-tengah pesimisme masyarakat melihat tingkah dan sikap pemimpin kita
yang jauh dari kata seorang pelayanan masyarakat. Sekaligus, masyarakat dapat
menemukan figur yang dapat dijadikan bahan pembanding buat kemajuan
daerah-daerah di Nusantara.
Dalam teori perubahan, pemimpin (kepala
daerah) punya peran yang cukup signifikan dalam membawa perubahan di
masyarakat. Pengawasan masyarakat juga di nilai perlu sebagai bagian dari
sistem pengawasan (social control) yang akan menjadi penentu
efektivitas dan efisiensi wujud pengelolaan tata pemerintahan (good
governance).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar