http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Kolaborasi%20Gaya%20Hidup%20Remaja,%20Sastra,%20Media%20dan%20Internet&&nomorurut_artikel=249 
 | 
 
Sastra
  bagi remaja perkotaan bukanlah sastra yang terwakili oleh para sastrawan dari
  generasi Putu Wijaya sampai Linda Christanty sekalipun. Sastra bagi remaja
  perkotaan juga bukanlah sastra koran, majalah sastra seperti Horison, maupun
  jurnal-jurnal kebudayaan yang memuat cerpen, puisi, dan esai-esai serius.
  Sastra remaja perkotaan adalah sastra pergaulan yang terekspresikan dalam
  medium-medium baru yang melekat pada gaya hidup mereka. Sastra remaja
  perkotaan saat ini adalah sesuatu yang sama sekali terlepas dari mata rantai
  sejarah sastra sebelumnya. Sejarah sastra yang saya maksud adalah sejarah
  sastra resmi versi para kritikus, teoritisi, akademisi dan para sastrawan
  sendiri. Sejarah sastra resmi ini sama halnya dengan sejarah pada umumnya
  yang berpihak pada kepentingan kekuasaan tertentu dengan muatan subjektivitas
  yang juga kental di dalam historiografi-nya. Dalam konteks remaja perkotaan
  secara riil, sebenarnya apa yang disebut mainstream sastra itu bahkan tidak
  eksis. Ada gap yang sangat jauh antara sastra dan kehidupan riil remaja
  perkotaan sekarang. 
Medium-medium ekspresi kesusasteraan dalam gaya hidup remaja perkotaan sekarang kurang lebih merupakan sebuah dekonstruksi terhadap medium ekspresi sebelumnya yang terjadi sebagai akibat dari perkembangan teknologi. Pretensi menulis sebuah karya sastra tidak lagi dilandasi oleh motivasi mimpi-mimpi besar, ide-ide pemberontakan, maupun pemikiran-pemikiran jenial untuk mengubah dunia. Remaja perkotaan sekarang cukup menulis di blog mereka tentang hal-hal personal keseharian yang remeh-temeh, mengirim sms romantis pada pacarnya, atau menciptakan syair lagu cinta yang juga sederhana saja. Itulah medium-medium ekspresi sastra remaja perkotaan sekarang. Di sisi lain para penulis generasi “tua” tetap asyik dengan mimpi-mimpi, keyakinan, arogansi, dan ide-ide besar untuk melahirkan sebuah magnum opus dalam “sejarah” kepenulisan mereka. Tanpa sadar, gap yang ada semakin curam dan dalam, mengingatkan kita pada kritik-kritik berpuluh tahun silam tentang ivory tower-nya para sastrawan dan seniman secara keseluruhan. 
Tentu
  masalahnya memang tak bisa dilepaskan dari “nilai-nilai, kriteria,
  teori-teori” tentang apa yang disebut dan dianggap sebagai “sastra”. Hal ini
  pun adalah persoalan lama yang terus menggantung tanpa penyelesaian. Bagi
  sejumlah sastrawan, sebut misalnya Seno Gumira Ajidarma, Sapardi Djoko
  Damono, atau Budi Darma, apa yang disebut dan dianggap sebagai “kriteria dan
  nilai-nilai” sastra adalah relatif dan subjektif. Pandangan ini memberi ruang
  kebebasan yang luas untuk menganggap dan menyebut apa itu karya sastra. Di
  lain pihak, masih banyak sastrawan dan kritikus yang berpegang pada
  teori-teori baku yang entah apa atau entah yang mana untuk mengategorisasikan
  sebuah karya sebagai “sastra”. Pandangan inilah yang kemudian mungkin membuat
  buku-buku semacam ensiklopedi sastra Indonesia tidak pernah lengkap dan utuh.
  Di buku-buku itu pastilah tidak pernah ada nama Agni Amorita Dewi misalnya,
  penulis cerpen remaja generasi tahun 80-an yang kerap mengisi lembar cerpen
  di berbagai majalah remaja dan pernah pula menjadi pemenang lomba cerber
  Femina. Di buku-buku itu pastilah tidak akan ada nama Raditya Dika atau
  Aditya Mulya, dua novelis muda masa kini yang penggemarnya menyebar di
  kalangan remaja perkotaan seluruh Indonesia. Dan di buku-buku itu juga tidak
  pernah ada nama FX Rudy Gunawan, penulis cerpen, esai, dan novel yang
  karya-karyanya juga kerap dimuat di sastra koran (non-Kompas) dan puluhan
  bukunya telah diterbitkan. 
Ini
  adalah sebuah stagnansi yang ironis. Generasi remaja sekarang merasa tidak
  ada perlunya membaca karya sastra adiluhung yang tidak connect dengan
  kehidupan riil mereka. Telah terjadi sebuah perubahan paradigma yang tidak
  pernah diantisipasi oleh para sastrawan. Program sastra masuk sekolah mungkin
  merupakan sebuah upaya yang pernah dilakukan untuk menjembatani gap atau
  mencairkan stagnansi ini. Tapi karena frame yang dibawa adalah “mindset lama”
  dan yang dilakukan dengan “cara lama” pula, maka bisa dikatakan upaya ini
  kurang membuahkan hasil. Sejumlah SMA yang didatangi mungkin jadi lebih mengenal
  sastrawan-sastrawan dan karya-karyanya, tapi hanya sebatas itulah hasilnya.
  Padahal yang dibutuhkan sekarang adalah menciptakan generasi baru pecinta
  sastra dan menumbuhkan iklim atau atmosfir yang subur bagi lahirnya generasi
  penulis sastra yang baru, segar, dan sama sekali berbeda. 
Dalam gaya hidup remaja perkotaan sekarang, film dan musiklah yang paling populer sebagai bagian dari kehidupan kesenian dan kebudayaan mereka. Ini terbukti dari suksesnya novel-novel adaptasi film yang digagas dan diterbitkan oleh penerbit spesialis novel remaja, GagasMedia. Hampir semua novel adaptasi film-film nasional terjual puluhan ribu kopi dalam hitungan bulan saja. Genre novel ini telah berhasil menjadi bagian dari gaya hidup remaja perkotaan berkat kolaborasi antara dunia film dan dunia sastra. Kolaborasi berarti sebuah persinggungan yang nyata dengan kehidupan. Kolaborasi menjadi sebuah pola untuk mencairkan stagnansi dan melahirkan karya yang “membumi”. Sebuah contoh kolaborasi ideal dari dunia musik adalah grup rock gaek Santana yang berkolaborasi dengan penyanyi remaja popular dalam tiga album terakhir mereka yang dirilis beberapa tahun belakangan. Kesadaran Santana sebagai grup yang melegenda untuk tetap tune in dengan perkembangan zaman sungguh sebuah kerendahan hati yang patut diteladani di dunia sastra kita. 
Sastra
  seharusnya menjadi bagian dari gaya hidup remaja perkotaan karena sastra
  seharusnya menjadi bagian dari kehidupan nyata termasuk kehidupan sehari-hari
  dengan segala tetek-bengek persoalannya yang mungkin cengeng, menyebalkan,
  dan tidak mutu. Tapi atas dasar apa seseorang berhak men-judge seperti itu
  terhadap kenyataan hidup yang nyata? Atas dasar apa seseorang atau sejumlah
  orang berhak menghakimi sebuah karya? Tiada satu dasar pun yang bisa membenarkan
  sikap-sikap seperti itu. Sebaliknya, justru pengikisan terhadap sikap-sikap
  seperti inilah yang akan mampu mengintegrasikan sastra dalam gaya hidup
  remaja perkotaan.  
Gaya Hidup Remaja dan Media 
Semua
  jenis media, baik itu Internet, televisi, film, musik, maupun majalah,
  berpengaruh besar terhadap gaya hidup kita masa kini. Kebanyakan media
  menginformasikan tentang gaya hidup remaja kota, yang notabene meniru gaya
  hidup modern. Maka, tidak heran jika kita digiring menjadi sangat konsumtif. 
Masa
  remaja adalah masa pencarian identitas. Kita sebagai remaja mulai mencari
  gaya hidup yang pas dan sesuai dengan selera. Kita juga mulai mencari seorang
  idola atau tokoh identifikasi yang bisa dijadikan panutan, baik dalam
  pencarian gaya hidup, gaya bicara, penampilan, dan lain-lain. Imbasnya banyak
  kita jumpai teman-teman dengan berbagai atributnya yang sebenarnya mereka
  hanya meniru-niru saja. Sadar tidak sih kalau saat ini banyak sekali sinetron
  remaja yang menawarkan life style baru? Para bintang muda yang digandrungi
  ternyata mampu mengubah style remaja. 
Pada
  masa remaja pengaruh idola memang sangat kuat. Idola atau tokoh akan
  mengendalikan hidup kita yang mungkin tanpa kita sadari. Nah, di sinilah
  media 
Namun,
  apakah benar bahwa media sedemikian buruk pengaruhnya bagi remaja? Sebenarnya
  tidak seratus persen demikian. Hal ini menjadi tantangan bagi kita untuk
  memilah-milah atau selektif terhadap pesan yang disampaikan oleh media.
  Karena, tidak bisa dimungkiri bahwa keberadaan media mutlak diperlukan. Karena,
  pada suatu sisi media memungkinkan kita untuk tahu beragam informasi, berita,
  penemuan, dan hal-hal baru. Atau bisa disimpulkan bahwa sebenarnya hadirnya
  media berpengaruh positif dan juga negatif.\ 
Keberadaan
  media memang tidak lepas dari kepentingan pasar. Dengan demikian, kalau kita
  tidak selektif terhadap pesan media, kita akan menjadi korban media. tidak
  salah memang ketika kita membeli sebuah produk berdasarkan informasi dari
  media. Namun, yang perlu diingat, seberapa perlu produk yang kita beli itu
  bagi diri kita. Apakah kita memang membutuhkan produk itu ataukah karena kita
  terpengaruh oleh iming-iming yang disampaikan oleh media. 
Remaja : Jangan memaksakan diri 
Tidak
  ada salahnya memang untuk tampil menarik seperti yang banyak diiklankan di media,
  dengan sebagian produk yang ditawarkan untuk membantu mewujudkan impian itu.
  Juga merupakan sesuatu yang wajar untuk pergi berbelanja membeli
  barang-barang kesukaan. Namun, yang mesti kita ingat, jangan memaksakan diri.
  Kalau kita ikuti perkembangan mode pakaian, misalnya, kalau tidak pantas, ya
  tidak usah dibeli, sebaiknya kita sesuaikan dengan diri kita. Singkatnya sih
  tidak harus mengikuti tren yang ada, tetapi yang penting nyaman di tubuh
  kita. Pokoknya yang penting kita percaya diri, nyaman dengan diri sendiri,
  menerima apa adanya, love yourself. Bahkan, akan lebih oke lagi kalau kita
  bisa menunjukkan kelebihan-kelebihan kita yang lain. 
Nah,
  jelaskan? Media memang punya dampak positif dan negatif. Kita harus arif
  menyikapinya. Cara gampang adalah mengenali diri kita sendiri dan mengenali
  apa yang menurut kita sangat penting. Mengenali apa yang kita sukai, apa yang
  bisa kita toleransi dari orang lain dan hal-hal yang membuat kita merasa
  mantap. Kalau setelah kita renungkan semua berbeda dari apa yang benar versi
  media, itu artinya kita harus segera ambil strategi. So, jangan menelan
  secara mentah-mentah apa yang diinformasikan media sehingga tidak begitu saja
  menjadi korban media. 
 | 
 
Sabtu, 20 Oktober 2012
Kolaborasi Gaya Hidup Remaja, Sastra, Media dan Internet
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar